Ke JKT (lagi) dari KWG

Perjalanan ke Jakarta kali ini edisi murah meriah sedikit lelah tapi senyum tetap sumringah.

Kereta
Gimana ga sumringah? Tiket keretanya pulang pergi hanya 11.000 rupiah saja per orang. (KWG-JKT 5.000, JKT-KWG 6.000). Terus kenapa lelah?karena ini kereta ekonomi yang mottonya bisa diartikan "siapa cepat dia dapat dan angkat pantat hilang tempat". Jadi kalo pas ga dapet tempat duduk, kita kudu sabar berdiri gitu, tapi kalau ada yang lagi baik hati, mereka akan geser dikit ngasih ujung tempat duduknya buat pantat kita numpang nempel. Itu yang terjadi waktu perjalananku kembali dari Kemayoran ke Karawang. Kereta udah penuh saat aku naik, bahkan saat aku naik sempat disrondol bapak-bapak. Jakarta keras bung! Saat udah pasrah siap-siap berdiri sepanjang jalan, ada mas-mas baik hati yang rela geser, kursi yg harusnya untuk 2 orang jadi dibikin buat 2.5 orang. Lumayan pantatnya numpang nempel di seperlima kursi.

Bakmi KSU
Cerita diawali dari pagi, pas masih di kereta, aku browsing tempat makan yang menarik daerah Kemayoran yang udah buka dari pagi. Akhirnya nemu Bakmi KSU ini, dengan review yang cukup menarik untuk dicoba, banyak yang komen positif. Jadi setelah sampai di Stasiun kemayoran, cukup jalan kaki 4 menit mengikuti arahan dari google maps, sampai deh.


 
Harga yang di atas itu hasil googling, saat aku di sana, harganya sudah naik 2ribu rupiah kalo ga salah. Menurutku rasa makanannya oke, bakmienya terasa home made gitu, bisa pilih varian mie nya mau yang halus atau yang karet, jadi teksturnya sesuai selera. Bakmie ini halal ya, dan swekiaunya enak bangeeett, wajib dicoba sih menurutku. *ngetik ini aja aku kudu sambil nelan ludah karena bayangin swekiaunya.

Taman Ismail Marzuki (TIM)
Tujuan utamaku ke Jakarta kali ini adalah ke Taman Ismail Marzuki karena mau lihat pertunjukan yang ada di planetariumnya. Bagi yang belum tahu, pak Ismail Marzuki ini adalah seorang komponis yang menciptakan banyak lagu nasional yang sampai sekarang masih sering dikumandangkan. Di bagian depan gedungnya ada marmer dengan ukiran lirik dari salah satu lagu yang diciptakan beliau.

Setelah memasuki kawasan Taman Ismail Marzuki, aku langsung menuju ke area planetariumnya. Karena show yang pertama sekitar jam 10, aku kira datang jam setengah 8 di sana sudah cukup pagi. Saat lihat area depan planetariumnya sih sudah cukup ramai, tapi saat masuk ke dalam, *TARAAAAA* udah ada antrean panjang mengular dong buat antre beli tiket pertunjukannya. Baru beberapa saat ngantre, ada pengumuman kalau tiket show jam 10 sudah habis terjual. Ada show untuk jam yang lebih siang, tapi aku kuatir ga sempat karena harus naik kereta sore untuk balik ke Karawang lagi. Akhirnya ga jadi nonton deeh *sedih*. Jadi, bagi kalian yang ingin menonton shownya yang jam 10, saranku datang jauh lebih awal saja karena tiketnya cepat habis. Apalagi saat aku datang ke sana, bersamaan dengan study tour anak SD.
 
Biar perjalanan ke TIM ga sia-sia, akhirnya aku keliling museum yang ada di planetarium. Jika mau masuk ke museum ini gratis kok, tidak dipungut biaya. Ada berbagai informasi mengenai tata surya, replika berbagai benda langit, semua hal tentang perbintangan ada di sini.

Monumen Nasional
Karena lagi di daerah Jakarta Pusat dan masih punya banyak waktu, akhirnya aku sekalian mampir ke tugu yang paling ikonik di Jakarta, Monas. Tiap mampir ke Jakarta atau melintas di atas Jakarta (pas naik pesawat), selalu cari-cari tugu Monumen Nasional ini. Dari TIM ke Monas, aku naik grab dan diturunkan di salah satu pintu masuk yang bersebelahan dengan stasiun gambir.
Pas baru turun dari Grab, aku dan temanku sempat bingung masuknya lewat mana, dan kami sempat nyasar ke parkirannya stasiun Gambir dong, soalnya warna pagarnya sama. Setelah tanya ke petugas di stasiun Gambir, akhirnya ditunjuki pagar yang terbuka sedikit di samping stasiun yang menuju Monas.




Ketika masuk ke halaman tugu Monas, awalnya excited banget, foto-foto Monas, foto bareng Monas, foto kepiting bareng Monas, sambil cari pintu masuk ke dalam Monas. Saking lamanya cari pintu masuk, dan ga ketemu-ketemu, sampai akhirnya udah ga excited lagi buat foto-foto.
Setelah muter-muter ga jelas, nanya beberapa kali, akhirnya aku baru tahu kalo untuk masuk monas tuh lewat semacam jalan bawah tanah, bukan masuk pagar langsung ke monas gitu. Jadi, cari aja tulisan "monumen nasional", masuk dengan cara turun tangga, lewat lorong, dan kita akan menemukan loket pembelian tiket masuk. Ada 2 macam tiket, yaitu tiket masuk museumnya saja, seharga 12.500/orang, sedangkan untuk ke puncak harga tiketnya 10.000/orang. Ini adalah harga tiket untuk orang dewasa ya, untuk anak sekolah lebih murah lagi. Tiketnya ini dalam bentuk e-money bank DKI Jakarta ya. Jadi kalau sudah punya e-money bank DKI sepertinya cukup top up saja di loket.
Saat masuk ke museumnya, kita bisa melihat berbagai diorama perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Hal yang menarik di museum ini adalah adanya fasilitas untuk orang-orang disabilitas, ada semacam lift di tangganya (setelah aku googling, sepertinya istilah yang tepat adalah Inclined platform Lift), sehingga orang dengan kursi roda juga bisa naik turun tangga dengan mudah.
Jika kamu mau naik ke puncak monas, saranku setelah kamu beli tiket, lebih baik langsung menuju pintu masuk ke puncak untuk mendapat semacam nomor antrean. Nanti pengunjung akan dikelompokkan dalam beberapa kelompok warna berdasarkan jam untuk bisa naik ke puncak. Saat itu aku dapat warna hijau, yang baru bisa naik jam 11 sampai 12 siang.  Waktu itu, aku nunggu lumayan lama dan sampe mati gaya, ga tau mau ngapain lagi. Akhirnya duduk di dekat pintu masuk aja sambil nyemil.
Pas udah waktunya naik ke puncak, rombongan warna hijau dipanggil, dan sempat terjadi percakapan seperti berikut:
Mbak petugas: Sekolah atau mahasiswa?
Aku: *bingung mau jawab apa, akhirnya cuma bilang "lebih besar dari itu".
Lalu mbaknya ngeh kalo yang aku maksud adalah dewasa.
Jadi harga antara anak-anak dan dewasa kan berbeda, kartu e-money nya akan di-tap di mesin yang berbeda berdasarkan kategori yang kita bayar itu
Setelah naik lift yang kecil (lift nya bener-bener kecil jika dibandingkan dengan kapasitas lift zaman sekarang), aku sampai di puncak monas, ada beberapa teropong yang bisa dipakai untuk melihat pemandangan dan gedung-gedung di sekitar monas. Tapi, karena biasanya ketika di Jakarta yang dicari adalah Monas, saat di puncak Monas aku jadi bingung mau cari apa.

Akhirnya setelah melihat-lihat dan sudah ga tau lagi mau lihat apa, aku turun lagi dengan lift yang sama dan pengunjung akan diturunkan di bagian cawan monas dan kemudian bisa turun lagi menggunakan tangga. Kalau aku ada kesempatan untuk masuk Monas lagi, mungkin aku akan memilih sampai di cawan saja karena sudah cukup tinggi untuk bisa melihat gedung sekitar dan tidak perlu antre panjang jika ingin pergi ke area cawan saja.


Setelah selesai berkeliling monas, aku menuju ke pintu keluar yang sama seperti pintu masuknya, tetap melewati jalan bawah tanah. Setelah keluar, tujuan berikutnya adalah mencari makan siang dan karena sedang di Jakarta, makanan yang dicari tentu saja yang khas Jakarta. Saat cari di google tentang penjual kerak telor di area Monas, terlihat gambar pedagang kaki lima yang berjualan di area Monas. Tapi saat aku ke sana, tidak terlihat ada penjual makanan satu pun. Setelah bertanya ke petugasnya ternyata semua penjual makanan sudah dikumpulkan di satu tempat semacam food court tersendiri. Untuk menuju ke sana, disediakan kereta bagi pengunjung. Area itu juga dekat dengan tempat parkir, jadi bagi kalian yang bawa kendaraan, untuk pergi ke Monas dari dan ke tempat parkir bisa memanfaatkan kereta ini.
Di food courtnya ada sangat banyak penjual makanan dengan pilihan menu yang sangat banyak, menurutku para penjualnya agak agresif sih, saat lihat kita sedang berkeliling belum menentukan pilihan, mereka akan bergerak maju mendekati kita sambil menyodorkan daftar menu. Yang menarik, seharusnya semua pembayaran dilakukan dengan menggunakan e-money (non tunai). Bahkan di beberapa sudut food courtnya juga dipasang spandung yang menginfokan jika kita diminta untuk membayar secara tunai, kita bisa melaporkan ke kasir dan makanan kita akan gratis. Tetapi pada praktiknya, setiap penjual tidak menerima e-money saya dan semua minta dibayar secara cash.
Karena ingin mencoba menu ala Jakarta, akhirnya kami memutuskan untuk mencoba ketoprak (kiri) dan kerak telor (kanan). Jika dibandingkan dengan menu di Jawa Timur, ketoprak ini semacam tahu tek yang diberi bihun. Sedangkan kerak telor tentu saja dibuat dengan beras ketan, telur (bisa pilih ayam atau bebek) dengan topping ebi, kelapa sangrai dan bawang goreng.
Setelah kenyang mencoba berbagai makanan, aku kembali lagi ke stasiun kemayoran untuk antre membeli tiket pulang. Sebenarnya ada cara yang lebih mudah untuk membeli tiketnya yaitu dengan menggunakan applikasi KAI Access. Saranku, jika ingin bepergian dengan lebih murah dan efisien, lebih baik menggunakan KAI Access ini saja.
Seperti yang sudah kuceritakan di awal, perjalanan pulang ke Karawang cukup membuat aku melihat seujung kecil dari kerasnya Jakarta, srondol-srondolan saat mau masuk ke kereta, empet-empetan di dalam kereta, tetapi tetap saja masih ada kebaikan yang bisa kurasakan, karena ada penumpang yang mau bergeser dan membagi sedikit kursinya buat istirahatku.

Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu masih bisa menemukan kebaikan dalam setiap perjalananmu? Apakah kamu masih bisa melihat sisi "fun" di dalam "FUN SIZED world" milikmu?

Komentar