Nyabek, Bebek, Tetek

Akhirnya aku punya kesempatan untuk menginjakkan kaki di negara lain, meskipun saat di bagian imigrasi sempat ditanya petugasnya : pergi sama siapa?
Entah karena bapaknya khawatir aku hilang di negara orang atau si bapak curiga aku ini korban perdagangan anak di bawah umur.
Perjalanan berlangsung lancar dan menyenangkan, saat pesawat sudah semakin mendekat ke darat aku mengintip di luar jendela pesawat dan yang terlihat hanya hamparan sawah hijau yang luas banget. Sempat berpikir ini negara apa, kok ga kelihatan bangunan perumahan atau perkantoran, beneran ini udah sampai? Hingga akhirnya pesawat udah mau benar-benar mendarat baru kelihatan ada beberapa bangunan.

Yangon Bukan Ibukota
Setelah pesawat mendarat, di luar bandara langsung berasa beda dari Indonesia karena bapak-bapak pake sarung tersebar di mana-mana. Berasa ada backsound yang bilang "WELCOME TO YANGON".
Jadi, setelah aku tiba di Yangon, aku masih berpikir bahwa ibukota Myanmar itu Yangon. Tapi ternyata ibukota Myanmar udah dipindah sejak tahun 2005 ke kota Naypyidaw. Padahal udah 12 tahun lalu lho, tapi kenapa aku baru tahu ya. Bahkan ternyata ga hanya aku yang berpikir ibukota Myanmar itu masih Yangon, banyak teman-teman dan orang di sekitarku yang juga baru tahu setelah aku bilang ibukota Myanmar bukan Yangon lagi. Jangan-jangan kalian juga ada yang baru tahu setelah baca tulisan ini?

Myanmar Banget
Selama di Myanmar, hal yang "Myanmar banget" yang aku rasakan yang tidak aku temukan di Indonesia selain lihat bapak-bapak pake sarung di mana-mana, kita juga bisa lihat orang yang wajahnya cemong warna kuning karena mereka pakai Thanaka, bubuk kuning berasal dari kulit pohon yang ditumbuk. Jadi ini semacam lotion yang natural untuk kulit yang katanya punya cooling effect, anti fungal, bisa menghilangkan jerawat dan menghasilkan kulit yang halus. Bahkan katanya biasa dioleskan di dalam mulut bayi karena juga baik untuk gigi.



Satu hal lagi yang masih bisa aku ingat dengan baik adalah aroma daun Sirih di mana-mana. Orang Myanmar punya kebiasaan "nyirih / nginang", dalam bahasa Myanmar daun Sirih disebut Kun. Jadi jangan heran kalo lihat noda merah di jalan atau di mobil sisa orang nyirih. Bahkan di toilet umum biasanya disediakan kantong kresek untuk orang-orang yang mau buang ludah setelah nyirih. Sampai akhirnya aku di bandara mau pulang pun aku bisa langsung tahu kalo di dekatku ada bapak-bapak lagi nyirih dari aroma yang tercium.

Karena lagi di negara lain, tentunya orang-orang di sekitar berbicara dengan bahasa yang ga aku mengerti dan tulisan-tulisan dengan huruf mereka yang ga bisa aku baca. Selama di sana aku cuma belajar 3 kata yang aku ga tau gimana penulisan yang benar, pokoknya yang terdengar di telingaku adalah "nyabek, bebek, tetek" yang artinya "kanan, kiri, lurus" (CMIIW). Jadi kalo naik taxi, mau nunjukin arah sambil lihat GPS udah bisa lah yaa. Aku udah agak berhasil sih menerapkan ilmu ini, waktu naik taxi nunjukin jalan ke bapak taxinya, dengan pede aku bilang "Tetek.. tetek" saat bapaknya mau belok kanan padahal gedung yang mau aku datangi masih di depan. Mendadak berasa naik level bisa ngomong ke sopir taxi pake bahasa Myanmar (meskipun cuma ngomong kanan, kiri, lurus dan sisanya tetep pake bahasa Inggris).

Mohinga
Di Myanmar, aku menginap di Super Hotel yang merupakan Japanese Hotel.
Lobby Super Hotel
Jadi tiap sarapan pasti makan makanan Jepang. Saat makan siang, aku pesan makanan yang udah pasti bisa aku terima yaitu burger. Standar banget ya, tapi daripada pesen aneh-aneh dan akhirnya ga bisa makan. Tapi akhirnya aku coba 1 jenis makanan Myanmar yaitu Mohinga jadi itu semacam mie dari beras kayak bihun gitu, dengan telur rebus, potongan batang pohon pisang yang crunchy, disiram dengan kuah yang beraroma ikan dan ada kriuk2 rasa ikan yang entah apa namanya. Biasanya mohinga dikonsumsi orang Myanmar sebagai sarapan mereka.
Sebelum disiram kuah
Setelah disiram kuah

Inya Lake
Karena waktu yang terbatas, aku cuma sempat mampir ke Inya Lake (itupun karena mampir di tea shop dekat sana) dan Shwedagon Pagoda.



Pertama kali saat dengar nama danau ini, yang tertangkap telingaku adalah "Young Lex". Sampai sempat berpikir, si Young Lex udah kasih kontribusi apa ke Myanmar sampai danaunya dikasih nama panggungnya dia. Danau ini adalah danau buatan terbesar di Myanmar yang dulu dibuat bangsa Inggris untuk memenuhi kebutuhan air di Yangon pada tahun 1882-1883. Sampai saat ini, danau ini masih menjadi tempat favorit orang-orang Yangon untuk pacaran, rekreasi, atau hanya sekedar jalan pagi. Waktu aku di tepi danau itu lagi foto kepitingku, ada anak kecil lagi kasih makan ikan yang ada di dalam danau itu, jd kelihatan ada cipratan airnya. Tapi aku ga lihat ikan di dalamnya seperti apa sih.

Shwedagon Pagoda
Mayoritas penduduk Myanmar adalah penganut agama Budha, jadi jangan heran kalo sepanjang jalan kamu akan melihat banyak pagoda. Salah satu pagoda yang wah banget di Yangon adalah Shwedagon Pagoda. Ini merupakan pagoda terbesar di Myanmar.
Ketika aku baru sampai hotel, karena kamarku di lantai 13, aku bisa melihat Shwedagon yang menyala dengan warna kuning keemasan di kejauhan.
Shwedagonnya yang warna emas bentuk segitiga di ujung jalan itu. Kelihatan kan?

Saking lamanya nulis post ini, aku sampai udah lupa harga tiket masuknya -.-, kalo ga salah untuk turis luar negeri harga tiket masuknya 9000 kyat. Ketika memasuki kawasan Shwedagon Pagoda, kita harus melepas alas kaki, jadi lebih baik alas kaki langsung dilepas di mobil aja (bahkan kaos kaki dan stocking juga ga diperbolehkan untuk dipakai lho).
Sebelum kalian memutuskan untuk mampir ke Shwedagon, pastikan kalian sedang memakai pakaian yang sopan dan tertutup, jangan pakai rok mini atau celana yang di atas lutut.

Untuk masuk ke Shwedagon, ada 4 pintu yaitu dari sebelah selatan (Shwedagon Pagoda Road, Kandaw min Road, Arzani Road), sebelah barat (U Wisara Road), sebelah utara (Arzarni Road), sebelah timur (Arzarni Road, Gyatawya Road), aku masuk lewat pintu sebelah barat dan ini pintu masuknya seperti yang di foto berikut ini.

Ketika aku masuk, aku cukup takjub melihat besar dan berkilaunya pagoda ini, bahkan di ujung atas pagoda terdapat diamond yang bisa kita lihat dengan teleskop yang tersedia. Ada bermacam-macam patung Budha di sekelilingnya, gambar-gambar yang menceritakan bagaimana terciptanya Shwedagon Pagoda (sayangnya cerita ditulis dengan huruf Myanmar, jadi cuma bisa lihat gambarnya saja), ada juga pembagian sudut-sudut berdasarkan hari lahir. Jadi ada Sunday - Saturday Corner, menurut kepercayaan mereka kita bisa mendatangi corner di hari apa kita lahir. Setiap hari lahir memiliki lambang binatangnya masing-masing, misalnya Monday Corner lambangnya adalah harimau. Kita bisa menyiram air ke patung yang di bawah atau di atasnya dengan jumlah total siraman sesuai dengan umur kita, katanya nanti harapan kita akan terkabul.



Walaupun aku ke sana itu pada saat weekday, pagoda ini tetap ramai pengunjung baik yang hanya sekedar berwisata atau yang memang mau berdoa. Karena aku hanya bisa berkeliling selama 1 jam, aku belum mendatangi setiap sudut pagoda ini, jadi kalau ada kesempatan untuk mampir lagi sih aku mau. hehehe. Bagi kalian yang ingin berkeliling dan melihat setiap bagian dari Shwedagon, kalian harus menyediakan waktu lebih lama karena luas area pagoda saja sekitar 46 hektar.
Oh iya, walaupun pagoda ini sangat cantik jika difoto dari ketinggian, kita tidak boleh mengoperasikan drone di area pagoda. Jadi cukup mengabadikan dengan kamera biasa saja ya, biar tidak mengganggu pengunjung lainnya juga.

Bagaimana, sudah siap menjelajahi Myanmar? paling tidak kita bisa naik taxi dengan bermodal 3 kata yang mudah diingat ini : "Nyabek, Bebek, Tetek" :)

Komentar

Posting Komentar