Patjar(merah)an dengan Papermoon di Semarang (Part 2)

Ini adalah lanjutan dari post sebelumnya tentang perjalananku di Semarang. Seperti yang sudah aku sampaikan sebelumnya, tujuan utamaku ke Semarang adalah mampir ke acara patjarmerah Semarang.
Parjarmerah adalah festival kecil literasi dan pasar buku keliling nusantara yang sudah diadakan 3 kali saat itu, yaitu di Jogja, Malang, dan Semarang. Saat di Semarang ini mereka menggunakan gedung Soesmans Kantoor dan Monod Diephuis & Co, 2 gedung yang berada di kawasan kota lama Semarang.
Jadi, di Sabtu siang saat itu (7 Desember 2019), aku jalan dari hotel ke area kota lama Semarang dan langsung mencari Soesmans Kantoor ini. Tidak sulit untuk menemukannya karena banyak baliho yang terpasang di area patjarmerah sehingga memudahkan para Patjarboekoe (sebutan untuk para pengunjung Patjarmerah) menuju tempat diadakannya festival buku ini.
Baliho Patjarmerah di seberang Soesmans Kantoor
Sesudah menemukan gedungnya, foto-foto sebentar di area depan gedung dan aku langsung masuk, tenggelam di antara semua buku yang dipamerkan di pasar buku itu. Dulu aku pernah berkunjung saat patjarmerah diadakan di Malang, dan itu jadi salah satu alasan aku datang ke Semarang hari itu. Patjarmerah memberikan efek "nagih" yang membuat kamu ingin datang lagi di patjarmerah selanjutnya.
Soesmans Kantoor

Pasar buku Patjarmerah
Ruang workshop Patjarmerah
Selesai berkeliling, membeli buku dan souvenir patjarmerah, aku keluar Soesmans Kantoor karena ingin berkeliling di area kota lama, sebelum aku megikuti acara pertunjukan boneka di sore harinya. Saat baru keluar gedung, aku sempat "starstruck" ketika melihat ada kak Windy Ariestanty yang sedang duduk di seberang gedung. Ga mau melewatkan kesempatan, aku langsung minta foto bareng. Makasih kak W!
Bersama kak W, ibunya Patjarmerah
Lalu aku berputar-putar, melihat berbagai gedung lama yang sudah berlumut, ada akar pohon di sekitarnya, dan mereka cantik dengan caranya masing-masing.





Aku terus saja jalan tanpa tujuan tertentu, melihat berbagai gedung yang belum terlalu populer hingga ke gedung-gedung mainstream yang sudah sering diupload

Spiegel
Marba
Saking ga lihat peta dan ga tau arah, aku muter-muter terus sampai tiba-tiba nemu jembatan berok. Aku langsung ingat ada nasi goreng babat yang terkenal dijual di seberang jembatan ini. Jadi aku istirahat sebentar sambil makan siang di nasi goreng babat pak Karmin.
Jembatan Berok

Warung Nasi Goreng Babat Pak Karmin

Nasi Goreng Babat Pak Karmin
Seporsi nasi goreng babat (sudah termasuk telur dadar) dijual dengan harga Rp 20.000,00. Katanya babat di sini dimasak dalam waktu yang sangat lama sehingga menghasilkan babat dengan tekstur yang lembut, mudah dimakan. Tapi bagi yang tidak suka babat, tenang saja, masih ada menu lain yang bisa dipilih di sini.
Daftar menu nasi goreng babat Pak Karmin
Karena sudah di area jembatan berok, aku melanjutkan perjalanan ke titik nol Semarang, hanya untuk berfoto saja. Titik nol Semarang ini ada di jalan pemuda, di taman pembatas jalan di seberang Gedung Keuangan Negara.
Titik Nol Semarang

Gedung Keuangan Negara Semarang
Setelah itu, aku mampir di kantor pos di dekat sana, mau mencoba merayakan perjalanan dengan cara baru, yaitu kirim kartu pos ke diri sendiri. Kalau istilahku dengan temanku, gerakan ini namanya #MakeKartuPosGregetAgain, tetapi sayangnya sampai sekarang (hampir 4 bulan), kartu posnya belum sampai di rumah. Semoga ga hilang dan akhirnya bisa sampai ya.


Kantor Pos Semarang
Dari kantor pos, aku lanjut cari menara Syahbandar Semarang, tetapi karena kondisi bangunan yang sudah tua dan mulai rapuh, area menara Syahbandarnya ditutup jaring, jadi aku hanya boleh foto dari luarnya saja.

Karena sudah sore, aku kembali ke area kota lama menuju gedung Monod Dephuis & Co, bersiap untuk acara selanjutnya, sesi yang bikin aku tanpa ragu berangkat ke Semarang walaupun sendirian, pertunjukan Papermoon Puppet Theatre "Secangkir Kopi dari Playa". Aku daftar untuk menonton pementasan yang jam 16.00 dan sudah bersiap di area Monod Dephuis satu jam sebelumnya untuk menukarkan tiket pertunjukan. Pementasan ini tergolong laris manis, dalam waktu singkat, semua tiket untuk 6 kali pertunjukan habis terjual.
Tiket pertunjukan papermoon
Barcode yang kutunjukkan ke panitia ditukar dengan bros warna merah. Penonton dibagi dalam beberapa kelompok, memasuki ruang pertunjukan dengan bergantian lewat jalur yang berbeda, memberikan atmosfer pertunjukan yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Selama 50 menit penonton disuguhi dengan pertunjukan boneka yang bercerita dengan bahasanya sendiri, dan setelah pertunjukan selesai penonton baru diizinkan mengambil foto. Salah satu 50 menit yang ga terlupakan nih. Semoga ada kesempatan untuk menonton pertunjukan papermoon yang lain *crossedfinger*. Hal lain yang bikin hatiku makin ga karuan saat menonton pertunjukan ini adalah karena sehari sebelumnya, sang tokoh utama, sumber inspirasi mereka membuat pertunjukan ini juga baru saja menonton pertunjukan ini secara langsung untuk pertama kalinya di tempat yang sama dengan aku menonton saat itu. Menurutku mbak Ria papermoon benar-benar pencerita ulung. Hanya dengan cerita beberapa menit saat dia mampir di Patjarmerah Malang tentang Papermoon dan cerita-cerita yang dibuat, membuat aku seperti dihipnotis dan hadir sore itu untuk memenuhi salah satu bucket listku yang baru ditulis bulan Agustus 2019 lalu kucoret di bulan Desember 2019. Yang kemudian membuat aku menulis list selanjutnya untuk menonton pertunjukan papermoon lainnya.
Crab bersama 2 tokoh utama Secangkir Kopi dari Playa

Crab bersama Eyang Widodo dan Eyang Widuri

Pulang dari kota lama dengan perasaan yang diaduk-aduk dengan sukses oleh cerita dari Papermoon bikin aku lapar, awalnya aku mau makan Bakmi Jawa Pak Panut, tapi ternyata saat aku ke sana warungnya tutup. Lalu aku berencana cari makan di area pasar Semawis, tetapi di perjalanan aku menemukan satu tempat menarik yang bernama Cafe Jamu.
Nasi Bakar
Sebenarnya yang bikin menarik bukan makanan utamanya, melainkan dessertnya. Ada es krim dengan rasa-rasa yang biasanya hanya kita temui di jamu. Akhirnya aku mencoba es krim beras kencur yang dujual dengan harga Rp 18.000,00. Benar-benar seperti minum beras kencur tetapi dengan bentuk yang berbeda dari biasanya.
Varian es krim rasa jamu
Hal menarik lainnya dari cafe ini adalah ternyata cafe ini merupakan cafe milik generasi ke-3 dari Njonja Meneer. Tau kan, merk jamu yang dulu sempat populer di Indonesia?
es krim beras kencur
Hari ke-3 di Semarang, aku memulai hari dengan ikut ibadah pagi di gereja Blenduk. Lalu sisa hari aku habiskan dengan mager di hotel sampai akhirnya tiba waktu berangkat ke stasiun untuk pulang ke Surabaya.

Mager (malas gerak) ku ini benar-benar mager maksimal. Aku pesan makanan untuk sarapan dan makan siang menggunakan ojek online, sambil ngadem menggunakan AC hotel. Aku pesan makanan yang tidak sempat aku coba di 2 hari sebelumnya yaitu tahu gimbal dan mie kocok. Tahu gimbal itu mirip dengan tahu tek di Surabaya tetapi dilengkapi dengan gimbal udang (udang yang digoreng dengan tepung) di atasnya. Sedangkan mie kocok mirip lontong mie tetapi petisnya tidak terlalu pekat.
Tahu Gimbal

Mie Kocok

Setelah jam 12, aku check out dari hotel dan berangkat ke Stasiun Tawang menggunakan ojek online kembali. Kali ini aku pulang menggunakan kereta dharmawangsa kelas ekonomi. Memang tidak senyaman ambarawa express, tetapi jam keberangkatannya yang memungkinkan aku untuk explore setengah hari lagi di Semarang
Stasiun Tawang

Stasiun Tawang
Akhirnya post ini berhasil diselesaikan karena himbauan pemerintah untuk #DiRumahAja. Semoga wabah korona ini cepat berakhir ya, karena selain memakan banyak korban, banyak acara akhirnya harus ditunda karena wabah ini seperti Patjarmerah Kaget Solo dan beberapa pertunjukan Papermoon di beberapa tempat.

Stay at home, stay safe dan stay healthy ya semua, jangan panik tapi juga tetap waspada gengs :)

Komentar